Gerbang Klenteng Tjoe Tik Kiong
Blusukan kali
ini tidak seperti biasanya. Kota Pasuruan, hanya 1 jam dari Surabaya, selama
ini hanya dilewati para pelancong yang melakukan perjalanan ke arah Problinggo
dan ke arah kota Malang. Kota Pasuruan hanya memiliki 4 kecamatan, yakni
Kecamatan Gadingrejo, Kecamatan Purworejo, Kecamatan Bugulkidul dan kecamatan
Panggungrejo.
![]() |
Penutup drainase di area pecinan Pasuruan bergambar bangunan gedung Imperial Indische
Pasuruan,
menyimpan banyak history masa lampau yang tidak bisa dipisahkan oleh keberadaan
keturunan Tionghoa. Catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa ibukota kerajaan
Kalingga atau Ho Ling waktu itu (752-755M) maju pesat di wilayah Kabupaten
Jepara, digeser ke pesisir utara bagian timur tepatnya di desa Po-Lu-Kia-Sien
yang ditafsirkan sama dengan nama desa Pulokerto di Kecamatan Kraton. Tidak
heran jika pengrajin ukiran di Kecamatan Kraton ini memiliki kesamaan karakter
dengan pengrajin ukiran kayu di Kabupaten Jepara. Sepanjang jalan di area Kecamatan
Kraton berjejer pengrajin ukiran kayu, gudang furniture dan toko atau showroom
furniture ukiran kayu.
Catatan sejarah
tentang Pasuruan juga diperkuat oleh tulisan dalam Prasasti Cungrang yang
ditemukan di Kecamatan Gempol, yang menyatakan bahwa Pasuruan sudah diaukui
keberadaannya pada tahun 929M pada masa
kejayaan kerajaan Mataram Kuno.
Pada masa
kerajaan Majapahit, tahun 1405-1433 terjadi 7 kali ekspedisi pelayaran dari
Tiongkok yang dipimpin oleh Cheng Ho ke pulau Jawa untuk menjalin kerjasama
perdagangan. Pada masa itu, banyak warga Tionghoa aseli mendarat di
Semarang. Diantaranya ada yang memilih untuk tinggal di Kota Lasem dan memiliki
keturunan yang terus bergeser ke arah timur yaitu ke Surabaya, Pasuruan,
Probolinggo dan Situbondo. Di Nusantara, warga Tionghoa yang lahir di tanah
Tiongkok biasa dipanggil dengan sebutan China Totok, sedangan warga Tionghoa
yang lahir di Nusantara biasa disebut China Keturunan.
Selanjutnya,
pada masa keberadaan VOC di Batavia, warga Tionghoa dianggap menjadi salah satu
ancaman bagi VOC. Warga Tionghoa berani melakukan perlawanan bersama pribumi, sehingga
terjadilah peristiwa Geger Pecinan pada tahun 1740. Pemberontakan warga
Tionghoa dibalas oleh VOC sehingga warga Tionghoa terus terdesak ke arah timur,
hingga ke Pasuruan.
Kontrol ketat
juga dilakukan VOC kepada warga Tionghoa dengan menempatkan mereka di
wilayah-wilayah khusus dan diberi jabatan seperti Opsir yaitu pemimpin etnis
Tionghoa dengan pangkat Letnan, Kapiten dan Major.
Pada tahun 1803,
seorang pengelana dari Perancis bernama Tombe menyebutkan bahwa sepertiga
penduduk di Pasuruan pada waktu itu adalah penduduk Tionghoa. Mereka tinggal
secara berkelompok dalam sebuah wilayah yang disebut Pecinan, karena selama
abad 19 pemerintah Hindia Belanda memberlakukan undang-undang Winkenstelsel
yang mengharuskan adanya pemisahan hunian bagi kelompok etnis, terutama adalah
penduduk pribumi, etnis Arab - India dan etnis Tionghoa.
Pasuruan sendiri merupakan sebuah wilayah yang sangat subur sehingga menjadi primadona untuk menjalankan usaha perkebunan tebu beserta pabrik gula. Keberadaan dan kejayaan warga keturuan Tionghoa keturunan pada masa lalu masih bisa ditemui bahkan masih berdiri kokoh di Kota Pasuruan. Banyak bangunan kuno peninggalan warga Tionghoa yang bisa kita temui tengah Kota Pasuruan.
Klenteng Tjoe Tik Kiong
Ketika komunitas Tionghoa semakin membesar di Pasuruan pada awal abad 18, maka mereka membangun kebuah klenteng sebagai sarana ibadat. Klenteng Tjoe Tik Kiong ini didirikan pada tahun 1740 di kawasan Pecinan. Berdiri dengan anggun di Jalan Lombok No. 7 Kelurahan Trajeng, Kecamatan Gadingrejo, Kota Pasuruan. Klenteng Tjoe Tik Kiong sampai saat ini masih digunakan untuk aktivitas sembahyang, pendidikan, sosial dan kebudayaan. bersambung ..(mcnews/yhy)
Posting Komentar