MCNews(12/03). Satu tahun sudah si pagebluk Covid-19 membersamai kita. Membersamai tapi tak menyenangkan, menggerogoti, bahkan merontokkan berbagai aspek kehidupan. Membuat hampir semua tak berdaya dan mati gaya. Mengubah begitu banyak situasi dan keadaan, memaksa kita untuk melakoni ritme dan gaya hidup baru yang orang bilang sebagai era “New Normal”. Sebuah era yang membuat setiap orang mau tidak mau, sadar atau terpaksa, harus mematuhi aturan ketat dan mesti selalu waspada terhadap keselamatan diri.
Kehidupan yang serba terbatas dan memang sengaja dibatasi, sebagai efek pandemi, tentu saja menimbulkan berbagai dampak amat serius di hampir semua aspek. Aspek kehidupan ekonomi masyarakat, dalam semua variannya, menjadi aspek yang amat telak terpukul. Terlebih masyarakat strata menengah ke bawah, sungguh memprihatinkan menohok ke sumsum hingga persoalan paling azasi, survival. Bahkan tak sedikit yang berteriak: SOS! Sembako mana sembako.
![]() |
Muhammad Lukman, guide DKI Jakarta dan bisnis
catering-nya |
Pun, para pelaku pariwisata, tour guide di dalamnya, sebagai dampak rontoknya sektor pariwisata membuat para pelaku tiarap tak berdaya dan mati gaya, bahkan banyak juga yang “mati kutu”. Pariwisata mati suri, akibatnya jutaan pelaku yang terlibat merasakan akibat langsung nan amat terasa menyentuh kelangsungan hidupnya yang paling mendasar. Pemandu wisata atau tour guide
![]() |
Muhammad Lukman, guide DKI Jakarta dan bisnis
catering-nya |
dalam hal ini, sebagai pelaku pariwisata yang digadang-gadang sebagai pelaku garda depan, tak dimungkiri juga dengan amat telak mengalami dampak tersebut, kehilangan job order sehingga terancam menjadi pengangguran. Lantas apa yang harus dilakukan oleh para pemandu, utamanya yang paling berdampak, karena selama ini hanya itu satu-satunya sumber penghasilan? Apakah hanya bisa pasrah menunggu keadaan pulih, dan lantas mencari atau mengharapkan order dari travel? Atau adakah alternatif lain?
Order, tak dimungkiri, adalah buluh perindu, sehingga muncul anekdot “rindu order” untuk merujuk pemandu yang lama tidak jalan, karena tak kunjung mendapat order. Dapat dikatakan order adalah nyawa bagi pemandu wisata, dalam arti pemandu wisata bakal “mati” jika tak kunjung dapat roder, karena berarti tak bekerja, tak bekerja berarti tak ada penghasilan. Pertanyaanya, apakah harus sedemikian itu nasib sang pembawa warta pada dunia? Khususnya pada saat pandemi ini?
Di masa pendemik ini tentu saja aktivitas kepemanduan berhenti seiring dengan mandegnya sektor pariwisata. Respon yang terjadi tentu saja bisa dirasakan, bahwa semua menganggap ini adalah situasi yang ada di luar jangkauan, di luar kendali para pemandu untuk mampu mengatasi. Yang bjsa dilakukan adalah mengikhtiari supaya dampak yang terjadi tidak terlalu menganggu kelangsungan hidup. Karena hidup harus terus berlangsung dan pemenuhan untuk berbagai kebutuhan hidup tak bisa kompromi. Tertutupnya kran penghasilan sebagai pemandu wisata yang nota bene selama ini menjadi andalah, bahkan bagi banyak pemandu sebagai satu-satunya, tentu menimbulkan dampak yang amat signifikan bagi keberlangsungan hidup, masih bersyukur jika tidak oleng. Walaupun ada juga yang mengeluh dan misuh-misuh.
Dalam realitas, tentu saja tidak semua beruntung menjadi tour guide laris manis, order melimpah, sehingga masih cukup punya tabungan deposito sebagai cadangan. Tentu ada yang tidak atau kurang beruntung, karena berbagai faktor, sehingga tidak punya atau memiliki hanya sedikit tabungan, yang tentu saja sangat mudah tergerus dan tergrogoti di masa pandemi ini, manakala tidak ada alternatif kran lain. Sebuah situasi yang sungguh amat memprihatinkan dan mendebarkan bagi sebagian pemandu wisata, jika tidak bisa dikatakan semuanya. Karena masih banyak pemandu wisata yang masih mampu bertahan, baik karena memiliki cadangan devisa yang cukup, atau memiliki alternatif kran yang lain.
Lantas, bagaimana menyiasatinya? Apakah kita harus diam saja tanpa berbuat apa-apa sembari menunggu keadaan pulih? Ya.. itu pilihan. Bagi pemandu yang kecukupan mungkin tidak begitu masalah, tapi bagi pemandu yang pas-pasan atau bahkan kekurangan, apakah tidak ada alternatif lain untuk menyiasati keadaan? Tentu saja tetap terbuka peluang untuk alternatif kran lain. Begitu pun masih terbuka ruang dialog, apakah pemandu wisata sebagai kran lain, atau pekerjaan alternatif sebagai kran lain. Semua tentu bisa dipertimbangkan sesuai dengan prospektif dan perspektif masing- masing individu, mana yang paling menguntungkan dan memberdayakan. Apa pun yang terjadi, mari kita tetap percaya dan semangat serta berpengharapan kondisi akan segera pulih kembali, dan kita bisa beraktivitas secara normal.(mcnews/bom).
Posting Komentar